newsukabumi.id-Saat itu, awal Agustus 2021. Mobil yang kukendarai telah membelah malam. Udara dingin terasa menusuk tulang saat kami lalui Jalan Raya Samarang. Inilah jalan terakhir yang akan menuntun kami sampai ke gerbang Peacesantren Welas Asih (PWA). Di menit-menit terakhir kebersamaan itu, kami -aku, Bima, ibunya dan kakaknya- serasa tak memiliki lagi kata untuk diucapkan. Kami semua terdiam, saat tahu perpisahan telah semakin dekat.
Sejujurnya, sejak perjalanan dari Bandung sore harinya, aku terus berusaha meyakinkan diri ini jika menitipkan Bima ke PWA tidaklah keliru. Sambil menatap hamparan aspal, aku terus bergumul dengan perasaanku sendiri. Aku tahu, PWA bukanlah lembaga bonafid. Usianya yang baru seumur jagung dengan fasilitas alakadarnya, membuatku merasa sedang bertaruh. Tapi kuyakinkan diri ini jika hidup sejatinya adalah pertaruhan. Hanya saja pertaruhan dalam hidup tentu berbeda dengan duduk bertaruh di depan meja blackjack di kasino.
Pertaruhan kali ini pun terasa begitu berat, karena melibatkan Bima, anak bungsuku. Meski bungsu, ia bukanlah anak manja. Hampir mirip dengan kakaknya, ia sebenarnya memiliki naluri mandiri yang cukup besar. Hanya karena kami kerap memperlakukan dia sebagai anak kecil, jiwa mandirinya itu hanya sedikit terasah. Saat duduk di bangku sekolah dasar, ia praktis tak memiliki rekam jejak mandiri yang cukup mumpuni. Ia pun tak pernah tercatat sebagai salah satu penumpang angkot. Singkat kata, anak itu memang tak pernah jauh dari kami.
Dan aku tahu, jiwa mandirinya itu akan diasah saat satu tahun sebelumnya kami sepakat jika dia akan melewati masa SMP nya di Garut. Garut memang bukan kota asing bagiku. Saat kecil, aku pernah tinggal di kota dingin itu. Tapi bukan karena aku pernah tinggal di Garut yang jadi penguat. Nama Irfan Amalilah yang jadi garansi bagiku saat memutuskan menitipkan Bima di pesantren baru itu.
Amali adalah adik angkatan saat aku mondok di Pesantren Darul Arqam. Aku mengenal dia sebagai anak yang baik. Sisi baik itu terus bersemayam di ingatanku dan pada akhirnya menggiringku untuk berani menitipkan Bima padanya. Bersama sisi baik itu, aku yakin Bima akan mendapatkan “sesuatu”. Sepenuhnya aku yakin pula, suatu saat akan ada “keterkejutan yang aneh dan keanehan yang tak terketahui” yang dihadirkan Bimaku.
Sebelum sampai PWA, kami singgah di sebuah puskesmas yang direkomendasikan PWA untuk melakukan tes PCR. Saat itu negeri ini sedang dihantam badai virus Corona. Dan salah satu saran medis yang populer agar aktifitas tetap berjalan hanyalah melakukan tes.
Tes di puskesmas itu cukup menyita waktu kami. Beberapa batang rokok telah habis kubakar. Anehnya, dalam setiap hembusan asap tembakau, tak kurasakan lagi sedikit pun kegalauan menitipkan Bima ke PWA. Aku jadi semakin yakin jika PWA adalah tempat terbaik bagi si bungsuku untuk menemukan dirinya sendiri.
Pada akhirnya pintu masuk Perumahan Griya Sanding Indah pun telah kami lewati. Itu berarti beberapa meter di depan, kami akan segera menginjakkan kaki di halaman PWA. Dan itu juga berarti, beberapa menit kemudian, kami akan meninggalkan Bima. Tanpa kami, ia akan melewati hari-harinya di tempat barunya itu.
Perpisahan dengan Bima pun menyisakan kesedihan yang teramat dalam. Air mata cinta seorang ibu tak henti dikucurkan ibunya di sepanjang perjalanan menuju pulang. Dan kata, kembali menjadi begitu mahal di beberapa jam perjalanan itu. Tanpa kata, mobil terus melaju membelah malam yang dingin.
Hari-hari pun berlalu begitu cepatnya. Sampai-sampai tak terasa jika Bima telah duduk di bangku kelas dua. Di suatu hari, aku kembali berkesempatan mengantarkan Bima ke PWA usai menikmati liburan. Dari Sukabumi kami naik kereta api lalu menginap semalam di Bandung. Besoknya kami meneruskan perjalanan ke Garut dengan sepeda motor melalui jalur Kamojang yang asri.
Siang itu sorot matahari tepat berada di atas ubun-ubun saat motor yang kukendarai melewati lapangan bola Sanding. Lapangan tanpa rumput itu menyambutku dan Bima dengan hembusan debunya yang cukup ngawur. Sesuai instruksi Bima, kuarahkan motor ke sebuah gang beralaskan paving blok. Gigi motor lalu kurendahkan saat berbelok ke kanan ke arah gang yang lebih sempit. Lalu kulihat di depan, hamparan sampah berceceran dengan deretan makam di sisi kiri dan kanannya.
Motor pun berhenti sekitar 10 meter persis di belakang asrama. Bima pamit untuk menyimpan tas ke kamarnya. Aku sendiri duduk di jok motor sambil melihat deretan nisan makam yang terpajang di sana.
Aku baru tahu jalan alternatif ini karena Bima baru kali ini pula mengajakku ke jalan tersebut. Areal pemakaman ini cukup sepi siang itu. Kubayangkan jika malam hari, pastilah begitu sepi. Tapi bukan soal sepi atau misteri yang merangsang pikiranku.
Aku khawatir dengan para pencoleng yang bisa masuk ke asrama dari arah makam tersebut. Batas areal makam dengan asrama memang dipisah dinding kawat. Sayangnya, dinding itu telah jebol dan cukup jadi pintu yang leluasa bagi maling untuk masuk mengambil barang para santri tanpa pamit.
Di tempat itu matahari tak menyorot tajam karena terhalang sejumlah rumpun bambu yang menjulang. Sambil kuhisap dalam-dalam rokokku, tak bisa kupungkiri betapa kuingat kematian saat itu. Dikelilingi makam, aku seperti menghitung hari menuju mati. Lalu kuamati kondisi asrama. Tak terlihat seorang santri pun di sana. Rupanya jam kedatangan kami tepat berbarengan dengan waktu sholat Dhuhur dan para santri semuanya sedang berada di musholla.
Beberapa saat kemudian, kulihat Bima turun dari tangga asrama. Di beberapa detik ia menuruni tangga, tiba-tiba aku merasa asing melihat anak itu. Anak kecil itu telah bermetamorfosa. Ia tumbuh jadi remaja mandiri dengan atribut unik yang ditampilkan.
Rambutnya yang dibiarkan gondrong, pemilihan warna outfit yang mencolok serta daya jelajah imajinasinya, sukses membuatku merasa asing. Saat itu, betapa aku merindukan tangan mungilnya yang kerap kuciumi dan kugenggam saat ia lelap tertidur. Kini tangan mungil itu bisa jadi lebih besar dari tanganku. Dan wajahnya yang dulu imut dan lucu mulai ditumbuhi jerawat. Sementara badannya tumbuh tinggi melampaui ibunya.
Lalu aku ingat betapa anak kecil itu berhasil mengagetkanku dan ibunya saat berperan sebagai Hanoman di sebuah perhelatan besar di pesantrennya. Gerak langkah, lompatan kaki dan kibasan tangannya sungguh membuatku takjub. Bagaimana mungkin anak itu bisa melakukannya?
Menari memang bukan dunia baru baginya. Ibunya kerap menjadikan teras rumah sebagai tempat latihan menari bagi para murid di sekolahnya. Dan beberapa kali pula, ibunya pernah melibatkan Bima sebagai aktor lengser kecil di sebuah hajatan kampung. Tapi gerakan yang kulihat malam itu seperti dilakukan mahasiswa jurusan tari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung di mana ibunya menyelesaikan kuliah di sana.
Aku terkesan dengan gayanya yang maskulin dan tidak lebay, tak seperti kerapkali kutemui dari kebanyakan penari laki-laki. Saat ia mewakili pesantrennya dalam kompetisi tari tingkat SMP se-Kabupaten Garut, aku senang ia terlihat gagah dengan tariannya. Sementara beberapa penari laki-laki lain, sukses membuat perutku mual hanya karena begitu gemulai menari di atas panggung.
Selain menari, ia memiliki minat besar pada game. Beberapa kali ia cerita soal kemampuannya menaikkan ranking sebuah akun mobile legends. Untuk tugasnya sebagai joki tersebut ia mendapatkan imbalan uang dari temannya sekedar buat jajan di warung Wadas. Ia juga pernah menjual akun yang tentu saja telah diupgrade peringkatnya. Nilai rupiah dari menjual akun biasanya lebih mahal dari sekedar jadi joki.
Dan yang membuatku surprise, saat ia cerita ikut seleksi salah satu tim papan bawah di kasta liga utama mobile legends (MPL). Di tengah keterbatasan memegang handphone -karena memang aturannya hanya diberi waktu 6 jam setiap pekannya- ia sukses melewati belasan match hingga sampai di grand final. Meski perjuangannya belum membuahkan hasil tapi aku mulai merasakan “keterkejutan yang aneh dan keanehan yang tak terketahui” dari anak itu. Apa yang ia suguhkan di dua tahun pertama duduk di PWA, melampaui apa yang kubayangkan.
Sebagai orangtua, aku dan ibunya tak pernah menuntut Bima -juga kakaknya- untuk jadi apa pun. Aku hanya menyiapkan diri ini sebagai mentor yang menunjukkan peta jalan yang mesti ditempuh. Dan jalan yang ditempuh itu tentu saja harus menyelamatkan mereka. Itulah juga mengapa aku menyematkan nama Salman pada keduanya. Tak hanya memosisikan diri ini sebagai ayah, aku juga bersahabat dengan mereka. Aku siapkan telinga ini untuk mendengarkan apa pun yang ingin mereka ungkapkan.
Aku teringat saat memilih nama Bima ketika ia lahir di bidan Lili pada sebuah Sabtu Pahing di bulan Oktober 2008 lalu. Saat itu aku hanya berharap anak itu kelak menjadi sosok berani yang memiliki ketulusan hati dan kelurusan pikiran seperti yang disuguhkan Bima di dunia wayang.
Dan di tengah gundukan pusara makam, aku kembali ditampar esai puitis Gibran: “Anakmu bukanlah anakmu. Mereka adalah putra putri kerinduan kehidupan terhadap dirinya sendiri. Mereka terlahir lewat dirimu tetapi tidak berasal dari dirimu. Dan meskipun mereka bersamamu, mereka bukanlah milikmu”.
Melalui Bima, aku mendapatkan pesan kehidupan, jika aku dan dia adalah sama: makhluk Tuhan. Bedanya, aku lahir duluan. Karena itu, niat baik, idealisme, pengalaman, olah pikir serta olah rasaku, akan kujadikan modal untuk menjadi mentor bagi Bima melangkah menuju gerbang cita-citanya. Di areal pemakaman itu, aku berdoa kepada Tuhan diberi umur panjang dan tetap sehat lahir batin agar senantiasa bisa mendampingi “anak kecil” itu, setidaknya sampai ke gerbang cita-citanya. *





Leave a Reply