Mengenal Letnan Dua Aminta Azmali, Pahlawan Sukabumi Bertempur di Garis Demarkasi, Berbekal Uyah dan Cengek

newsukabumi.id-Suatu malam di bulan Juni 1949, Aminta Azmali mengetuk pintu rumah orang tuanya di Kampung Belakang, Kelurahan Sriwidari, Kecamatan Gunung Puyuh, Kota Sukabumi. Pelajar kelas dua sekolah teknik yang meninggalkan bangku sekolah karena ikut berperang melawan Belanda itu menyempatkan diri menemui kedua orang tuanya, Ai Azmali dan Siti Aisyah, usai ditugaskan mengambil sejumlah obat dari seorang dokter di Kota Sukabumi. Obat tersebut dibutuhkan para pejuang yang menjaga garis demarkasi (batas wilayah Republik Indonesia dengan Belanda) di front barat Sukabumi, tepatnya di daerah Maseng, Cigombong.

Sudah berbulan-bulan Aminta tak menunjukkan batang hidungnya. Sebagai anggota Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP), Aminta ikut berjibaku di medan tempur menghalau para penjajah hengkang dari bumi pertiwi. Tak heran, jika kedatangannya malam itu disambut haru dan peluk hangat kedua orang tuanya.

Sayang, Aminta tak punya cukup waktu untuk bercengkerama dengan kedua orang tuanya. Semangat perjuangan yang berkobar di dadanya membuatnya harus segera pergi dan kembali bergerilya bersama para pejuang lain di medan tempur. Sebelum adzan Subuh berkumandang, Aminta pun pamit.

Siti Aisyah berusaha menahan kepergian anaknya itu. Sambil memeluk erat dan sedikit menghiba, Aisyah berucap, ”Enta -panggilan Aminta-, ayeuna mah ulah ngilu perang heula atuh Jang, pan sakeudeung deui ge rek munggahan”.

Aminta merasakan sedikit kegundahan. Tapi baktinya yang begitu besar pada negeri membuatnya harus pergi. “Punten Euma, salami nagara Indonesia teu acan buleud merdeka, Enta moal liren perang. Enta mung nyungkeun pidu’a Euma supados Enta salamet”.

Kedua orang tua Aminta Azmali

 

Air mata cinta seorang ibu pun menetes membasahi pipi Siti Aisyah. Sementara sang ayah, Ai Azmali, tertegun kehilangan kata-kata. Mereka akhirnya terpaksa melepas kepergian anak lelakinya itu. Fajar itu, Aminta pamit lalu menempuh perjalanan panjang ke arah barat dengan berjalan kaki.

Dan pertemuan malam itu menjadi yang terakhir bagi mereka. Suatu hari di bulan Agustus 1949, Siti Aisyah kedatangan Adang, rekan seperjuangan Aminta di kesatuan TRIP. Adang membawa kabar tak menyenangkan: Aminta telah wafat.

Kematian Aminta diakibatkan rentetan peluru yang dimuntahkan senjata tentara Belanda yang mengoyak sekujur tubuhnya. Serangan yang dilakukan Belanda sekitar pukul 04.00 WIB pagi itu begitu mendadak dan curang. Aminta dan para pejuang lain yang berada di markasnya tak sempat mempersiapkan diri menghadapi gempuran musuh. Kuat dugaan, Belanda mendapatkan bocoran informasi dari mata-matanya orang pribumi tentang lokasi markas kompi Aminta dan rekan-rekannya yang berada di Kampung Bantar Karet, Desa Lembur Sawah, Cibadak.

Saat mengabarkan berita duka itu, Adang membawa sebuah bungkusan yang dia temukan dari saku seragam perang Aminta. Bungkusan itu lalu diserahkannya kepada Siti Aisyah. Saat bungkusan dibuka, ibu kandung pejuang itu tak dapat menahan derasnya kucuran air mata meski hanya mendapati seonggok uyah dan beberapa butir cengek (garam dan cabe rawit). Uyah dan cengek merupakan bekal utama lauk makan Aminta selama dalam masa perang gerilya melawan Belanda.

Selain Aminta, delapan orang rekan seperjuangannya di TRIP, termasuk Muchtar Obing, gugur terkena tembakan tentara Belanda. Sementara sejumlah pejuang lain termasuk Adang berhasil meloloskan diri dan selamat. Dari pihak Belanda, tercatat 15 orang berikut anggota KNIL (bangsa Indonesia yang jadi tentara Belanda) yang menjadi korban.

Usai pertempuran, para pejuang yang selamat dibantu masyarakat setempat menguburkan jasad sembilan pejuang tersebut dalam tiga liang lahat. Satu lubang liang lahat diisi tiga orang jasad pejuang. Dan pada tahun 1962, semua jasad para pejuang tersebut dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Surya Kencana, Sukabumi, dan diberi titel: Pahlawan Tak Dikenal.

Komandan Peleton

Aminta Azmali lahir di Sukabumi pada 1 Oktober 1928. Usai menamatkan bangku SMP negeri pada tahun 1945, ia mendaftar untuk menjadi bagian dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karena statusnya pelajar, ia lalu ditugaskan di kesatuan TRIP dan mendapatkan jabatan sebagai Komandan Peleton I Kompi I Batalyon I Brigade XVII Divisi Siliwangi.

 

Rumah Aminta Azmali di Kampung Belakang

 

TRIP merupakan satu kesatuan militer yang ikut mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang para anggotanya berasal dari kalangan pelajar. Pasukan TRIP menjadi wadah bagi para pemuda berusia 13 hingga 18 tahun yang ingin ikut berjuang membela tanah air dari cengkeraman penjajah. Para pelajar itu rela meninggalkan bangku sekolah dan ikut mengangkat senjata demi mengusir para penjajah. Secara resmi pasukan TRIP dibentuk pada 22 September 1945.

Dalam menjalankan tugas perjuangan, tidak semua anggota TRIP dikerahkan sebagai pasukan tempur. Sebagian ada yang bertugas di bagian perhubungan, membantu gubernur militer, jadi kurir, bagian dari palang merah dan sebagainya

Kesatuan TRIP ini juga tidaklah berdiri sendiri. Mereka berada di bawah perintah komando pertempuran setempat. Pasukan Aminta sendiri secara taktis berada di bawah komando Batalyon 9 Brigade XII Suryakencana. Saat itu Komandan Batalyonnya bernama Kapten Efendi. Meski demikian, tanggung jawab terhadap anak buah langsung diserahkan kepada komandan kompinya dan komandan peletonnya.

Tugas utama peleton Aminta adalah menjaga daerah demarkasi di front barat Sukabumi, tepatnya di daerah Maseng dan Ciburayut, Cigombong. Tugas itu dijalankan Aminta dan rekan-rekan seperjuangannya hingga meletus Clash atau Agresi Militer Belanda I.

Saat terjadi Agresi Militer pada 21 Juli sampai 5 Agustus 1947 tersebut pasukan Aminta dengan persenjataan yang didapat dari hasil pertempuran, diperintahkan untuk mundur ke Sagaranten, Gunung Bembreng dan Sukanegara. Perintah mundur ke arah selatan itu bertujuan demi menjaga bahan pangan sekitar areal perkebunan di kawasan Sukabumi dan Cianjur Selatan dari cengkeraman Belanda.

Agresi Militer I memang dipicu kekalahan Belanda dalam Perang Dunia II sehingga membuat ekonomi Negeri Kincir Angin itu morat marit. Dan demi membangkitkan ekonominya yang terpuruk, Belanda berencana menguasai sumber daya alam Indonesia. Di Pulau Jawa, Agresi Militer I difokuskan guna menguasai perkebunan, pabrik dan pelabuhan.

Pada periode itu taktik perang gerilya menjadi opsi yang diambil prajurit Divisi Siliwangi yang tetap bertahan di Jawa Barat. Saat itu sebagian besar prajurit Divisi Siliwangi telah hijrah ke Jogjakarta, ibukota RI saat itu. Hijrah ini dilandasi hasil perjanjian Renville yang dilangsungkan dari 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di geladak kapal perang Amerika Serikat USS Renville sebagai tempat netral yang berlabuh di Jakarta.

Salah satu isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa pasukan tentara Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan Belanda, yakni di Jawa Barat dan Jawa Timur, harus ditarik mundur dan masuk ke wilayah RI di Yogyakarta.

Menyikapi hal itu, pada Februari 1948, Panglima Besar Jenderal Sudirman melalui tim perhubungan yang dibentuk di Yogyakarta, mengirimkan perintah hijrah kepada Panglima Divisi dan Komandan Brigade Pasukan Siliwangi.

Namun tidak semua pasukan Siliwangi diperintahkan untuk hijrah. Sebagian pasukan tetap berada di Jawa Barat dan menjalankan aksi perang gerilya terhadap Belanda demi menjaga eksistensi de facto wilayah Republik Indonesia.

Aminta dan para pejuang di kesatuan TRIP termasuk yang tidak ikut hijrah. Pada periode 1948 hingga 1949 itu, Aminta dan peletonnya mendapatkan tugas bergerilya di daerah Sukabumi. Selain itu, peleton yang dipimpin Aminta juga mendapatkan tugas tambahan sebagai mobile troepen (pasukan mobil) untuk daerah Bogor, Cianjur dan Banten.

Brigade XVII

Usai menghadapi Agresi Militer Belanda II pada tahun 1948, Presiden Soekarno memasukkan kesatuan pelajar pejuang bersenjata dalam kesatuan otonom di jajaran organisasi TNI dengan nama Brigade XVII. Sayangnya Brigade XVII ini tak berumur panjang. Pada awal 1951, Brigade XVII dibubarkan dalam sebuah upacara demobilisasi. Demobilisasi merupakan pembebasan dari tugas militer bagi tentara yang dikerahkan pada masa perang setelah perang usai.

Peraturan mengenai demobilisasi dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan pada tanggal 9 Mei 1950 dengan Surat Keputusan No. 193/MP/50. Menurut surat keputusan tersebut anggota angkatan perang yang akan terkena demobilisasi meliputi anggota Brigade XVII yang tidak melanjutkan ikatan dinas tentara, semua anggota mobilisasi pelajar serta semua tenaga darurat yang dikerahkan pada waktu perang kemerdekaan. Tenaga darurat ini seperti bekas anggota tentara yang diberhentikan karena rasionalisasi tahun 1948 tetapi menggabungkan diri lagi setelah Agresi Militer II, anggota kelaskaran, pegawai sipil yang ada dalam ketentaraan dan tenaga rakyat lainnya.

Anggota Brigade XVII yang terkena demobilisasi lalu diberi penghargaan oleh negara berupa ”uang kadeudeuh”, semacam beasiswa, yang besarnya variatif. Mereka juga diberikan pilihan untuk melanjutkan studi yang terbengkelai selama menjadi tentara pejuang, atau melanjutkan karier militer di TNI maupun Polri bagi yang berminat.

Bagi anggota Brigade XVII yang memilih melanjutkan karir di angkatan perang akan memperoleh pangkat minimal Sersan. Sementara bagi anggota Brigade XVII yang sudah menyelesaikan sekolah teknik (ST) diberi pangkat Letnan Muda. Para pemegang jabatan staf atau komandan peleton diberi pangkat Letnan Dua. Sedangkan komandan kompi mendapatkan pangkat Letnan Satu. Angkatan Darat merupakan kesatuan yang paling banyak menampung anggota ex Brigade XVII ini.

Dalam perjalanannya kemudian, para prajurit ex Brigade XVII memegang peran penting dalam organisasi TNI. Ada ratusan ex Brigade XVII yang di kemudian hari menjadi jenderal, mulai bintang satu hingga empat. Beberapa nama jenderal ex Brigade XVII yang cukup populer antara lain Jenderal LB Moerdani (Pangab), Jenderal Pol. Anton Soejarwo (Kapolri) dan Marsekal Roesmin Nuryadin (KSAU).

Diabadikan Jadi Nama Jalan

Pada 22 Desember 1980, warga Ex Corps Pelajar Siliwangi Brigade XVII Sukabumi mengajukan permohonan penggantian nama jalan kepada Walikota (saat itu Walikotamadya) Sukabumi melalui surat bernomor 017. Ds/CPS/XII/ 1980. Dalam permohonananya, warga Ex Corps Pelajar Siliwangi Brigade XVII Sukabumi mengusulkan agar Jalan Ketilang diganti dengan nama Jalan Aminta Azmali TRIP, Jalan Mesjid atau Alun-alun diganti dengan nama Jalan Muchtar Obing TRIP, serta Jalan Standard Ciwangi diganti dengan nama Jalan Tentara Pelajar.

Menanggapi permohonan tersebut, Walikota Sukabumi saat itu, Soejoed, berkonsulatsi dengan Badan Pertimbangan Daerah (BPD). BPD ini terdiri dari pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan unsur fraksi-fraksi yang belum terwakili dalam pimpinan DPRD. BPD bertugas memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada kepala daerah.

Dan pada Rabu, 31 Desember 1980 pukul 09.00 WIB, BPD mengadakan sidang guna membahas permohonan warga Ex Corps Pelajar Siliwangi Brigade XVII Sukabumi tersebut di ruang sidang komisi DPRD Kota Sukabumi. Sidang dipimpin oleh ketua BPD yakni Muchamad Machfud. Sidang juga dihadiri para anggota BPD yakni Misbah Almunir, BA, Achmad Sanusi, SH dan Murtinah, serta Sekretaris BPD, T Himawan.

Dari eksekutif, hadir Walikota Sukabumi Soejoed, Sekretaris Daerah Drs. Koeswadie, Kabag Itwilko Ismaun Saleh, Kabag Hukum Sukandar Bachtiar, SH, Kabag Kesra Sudrajat D, Kabag Pemerintahan Suryana Kartawidjaja, BA, Kepala Bappeda M Sumantri, serta staf Sekretariat DPRD Hadi Sirodjudin Abas dan Effendi.

Sidang itu memberikan rekomendasi jika penggantian nama Jalan Ketilang menjadi Jalan Aminta Azmali TRIP dapat disetujui. Sementara Jalan Masjid/ Jalan Alun-alun menjadi Jalan Muchtar Obing TRIP, BPD tidak dapat menerimanya, tetapi BPD dapat menyetujuinya jika dialihkan ke Jalan Kaum Tengah. Lalu usulan mengganti Jalan Standard Ciwangi menjadi Jalan Tentara Pelajar juga ditolak BPD dengan dasar pertimbangan cukup yang diabadikan itu tokoh pejuang yang gugur saja, tidak perlu dengan organisasinya.

Sidang itu juga mencatat jika penggantian kedua jalan tersebut akan ditetapkan dengan peraturan daerah. Dan sepanjang belum ditetapkan peraturan daerahnya akan diterbitkan surat keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Sukabumi mendahului peraturan daerahnya.

Dan pada 5 Januari 1981, Walikota Soejoed memutuskan jika penggantian Jalan Ketilang menjadi Jalan Aminta Azmali TRIP dapat disetujui. Tetapi usulan agar Jalan Masjid menjadi Jalan Muchtar Obing TRIP tidak dapat dikabulkan, tetapi dapat dialihkan ke Jalan Kaum Tengah menjadi Jalan Muchtar Obing TRIP. Dan usulan Jalan Standard Ciwangi menjadi Jalan Tentara Pelajar tidak dapat dikabulkan dengan dasar pertimbangan bahwa telah diwakili oleh tokoh pejuangnya sehingga tidak perlu oleh organisasinya.

Pengabadian nama Jalan Aminta Azmali TRIP sendiri akhirnya dilakukan pada 24 Mei 1981. Sehari sebelumnya, yakni pada Sabtu sore, 23 Mei 1981 dilakukan upacara khusus di makam almarhum Aminta Azmali dan Muchtar Obing. Upacara khusus itu meliputi penghormatan khusus kepada kedua arwah almarhum, peletakan karangan bunga, meminta ijin kepada kedua almarhum bahwa nama almarhum akan diabadikan sebagai nama jalan dan ditutup penaburan bunga.

Dan pada Ahad pukul 09.00 WIB tanggal 24 Mei 1981, acara pokok pengabadian Jalan Aminta Azmali TRIP dan Muchtar Obing TRIP dilakukan di Gedung Gelanggang Merdeka.  Acara itu diisi dengan pembacaan riwayat hidup almarhum Aminta Azmali TRIP dan Muchtar Obing TRIP, pembacaan Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Sukabumi serta penyerahan bingkisan kepada keluarga almarhum Aminta Azmali TRIP dan Muchtar Obing TRIP.

Usai makan siang, seluruh tamu undangan bergerak menuju Jalan Aminta Azmali TRIP dan Jalan Muchtar Obing TRIP untuk melihat peresmian penggantian nama kedua jalan tersebut. Dan sekitar pukul 12.45 WIB, seluruh undangan menuju tempat kediaman keluarga almarhum untuk beramah tamah.* (Diolah dari berbagai sumber)

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

RSS
Follow by Email