NEWSUKABUMI – Asal mula kurban berakar dari tradisi kuno umat manusia dalam mengungkapkan rasa syukur, tobat atau permohonan kepada Yang Maha Kuasa, dengan cara mempersembahkan sesuatu yang dianggap berharga.
Dalam tradisi agama-agama besar dunia, termasuk Islam, Yahudi dan Kristen, konsep kurban memiliki akar sejarah dan makna spiritual yang dalam. Berikut ringkasan awal mula kurban menurut beberapa sumber utama:
Dari Hati yang Menyala Hingga Pisau yang Tak Melukai
Setiap tahun, di bulan Dzulhijjah, jutaan orang di seluruh dunia menyaksikan peristiwa yang sudah berlangsung ribuan tahun yakni penyembelihan hewan kurban. Tapi di balik darah yang mengalir dan daging yang dibagikan, ada satu pertanyaan mendasar yang jarang kita renungi: dari mana sebenarnya tradisi kurban berasal?
Untuk mengetahui itu, mari kita mundur jauh ke masa sebelum kitab suci diturunkan. Sebelum nama Ibrahim, Musa atau Isa dikenal dunia. Kala itu, manusia masih hidup berdampingan dengan alam, dan langit dianggap penuh dengan misteri. Mereka percaya bahwa di balik badai, gemuruh gunung dan hasil panen yang subur, ada kekuatan yang tak terlihat.
Dan untuk menyenangkan kekuatan itu, mereka mempersembahkan sesuatu yang paling berharga: korban. Mulanya berupa buah, hasil bumi bahkan manusia. Di Mesir Kuno, Yunani hingga suku Aztek, praktik pengorbanan adalah bentuk komunikasi dengan langit sebagai sebuah permohonan agar hidup tetap berjalan. Tapi seiring waktu, kurban mengalami transformasi.
Dua Kakak Beradik dan Sebuah Pengorbanan yang Ditolak
Dalam kitab-kitab samawi, kisah kurban pertama muncul lewat dua nama: Habil dan Qabil. Keduanya anak-anak Adam. Kisah ini merupakan referensi paling awal tentang kurban. Kisah ini tercantum jelas dalam Al-Qur’an (Surah Al-Ma’idah: 27–31) dan juga memiliki padanan dalam teks Yahudi-Kristen (Kitab Kejadian).
Dikisahkan mereka diminta mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan. Habil memilih anak domba terbaik dari ternaknya. Habil mempersembahkannya dengan cinta dan niat tulus. Sementara Qabil malah sebaliknya. Ia memilih hasil panen seadanya. Sikap ini didorong rasa terpaksa demi sekadar menggugurkan kewajiban. Tuhan pun menerima kurban Habil dan menolak Qabil.
Apa yang terjadi kemudian? Iri, marah dan hancur oleh egonya, Qabil membunuh saudaranya sendiri. Darah pertama manusia tumpah bukan karena cinta, tapi karena kurban yang tak lahir dari hati.

Domba menjadi salah satu hewan kurban di setiap perayaan Idul Adha
Ibrahim, Ismail dan Pisau yang Tak Pernah Menyakiti
Tapi kisah paling ikonik datang dari seorang lelaki tua yang bermimpi diperintah Tuhan untuk menyembelih putranya: Nabi Ibrahim dan Ismail. Bayangkan, menunggu anak selama puluhan tahun, hanya untuk diminta mengorbankannya. Dan Ismail, remaja yang taat, berkata: “Lakukan apa yang diperintahkan padamu, Ayah. Engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Pisau pun diletakkan. Tapi Tuhan menghentikan segalanya. Karena yang Tuhan inginkan bukan darah, tapi ketaatan total dan ketulusan tanpa syarat. Sejak saat itu, kurban menjadi simbol bahwa dalam hidup, kita akan diminta melepas sesuatu -ambisi, ego bahkan cinta duniawi- untuk mendekat pada yang hakiki.
Kurban Hari Ini: Masihkah dari Hati?
Kini, ribuan tahun setelahnya, kurban hadir dalam wajah yang berbeda. Lebih praktis, lebih sistematis. Tapi ruhnya tetap sama: apakah yang kita persembahkan datang dari hati yang penuh keikhlasan, atau sekadar rutinitas yang kita jalani tiap tahun?
Di tengah dunia yang dipenuhi kebisingan, kurban adalah ajakan untuk diam sejenak. Menoleh ke dalam diri. Dan bertanya: apa yang benar-benar berharga, dan sanggupkah kita merelakannya demi cinta yang lebih agung?
Karena sejatinya, kurban bukan tentang hewan yang mati. Tapi tentang hati yang rela. Kurban bukan sekadar penyembelihan hewan, melainkan sebuah laku batin yang telah menjadi bagian dari jejak spiritual umat manusia sejak zaman purba. Ia mengandung unsur pengabdian, pengorbanan dan cinta kepada Yang Maha Agung.
BACA JUGA:Misteri Wanita Isdal








Leave a Reply